Diterbitkan pada: 29/10/2025
                             Jakarta, Kemendikdasmen – Dalam rangka memperkuat kerja sama kebahasaan antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) menyelenggarakan Seminar Kebahasaan Antarbangsa Majelis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia (Mabbim) di Jakarta, Selasa (28/10). Sidang Panel 1 Seminar Kebahasaan Antarbangsa Mabbim Tahun 2025 menjadi ruang dialog intelektual yang mempertemukan pandangan tiga negara serumpun mengenai masa depan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia di tengah arus globalisasi digital. Kegiatan yang merupakan bagian dari rangkaian Bulan Bahasa dan Sastra 2025 ini bertujuan untuk mendorong pemanfaatan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dalam diplomasi antarbangsa serta merumuskan strategi internasionalisasi bahasa di tingkat Asia Tenggara. Dalam paparan pemakalah Indonesia, Yudi Latif, menyoroti akar sejarah dan perkembangan bahasa Melayu yang kemudian bertransformasi menjadi bahasa Indonesia. Ia menjelaskan bahwa perjalanan bahasa ini dipengaruhi oleh dinamika kolonialisme, budaya dagang, dan semangat egaliter yang melekat pada masyarakat Austronesia. “Bahasa Melayu dan bahasa Indonesia adalah bahasa masa depan umat manusia, yaitu bahasa yang egaliter, inklusif, dan mudah dipelajari oleh siapa pun di dunia,” ungkapnya. Yudi juga menegaskan pentingnya kolaborasi bahasa serumpun untuk memperkuat posisi bahasa di tingkat global. “Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam berangkat dari akar bahasa yang sama. Karena itu, sudah saatnya kita menjadikan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia sebagai khazanah bersama demi kejayaan kolektif di masa depan,” tambahnya. Sementara itu, pemakalah dari Malaysia, Rusmadi Baharudin, mengangkat isu kedaulatan linguistik di era digital. Ia menyoroti tantangan besar yang dihadapi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia di tengah dominasi bahasa global seperti Inggris dan Mandarin. “Bahasa kita besar di dunia nyata, tetapi kecil di dunia maya. Kedaulatan bahasa kini tidak hanya diukur dari jumlah penutur, tetapi juga dari sejauh mana ia hadir dan terwakili dalam infrastruktur digital global,” ujarnya. Rusmadi mendorong ketiga negara untuk membangun data linguistik nasional yang kuat dan berdaulat. Menurutnya, penguasaan terhadap data kebahasaan menjadi kunci mempertahankan eksistensi bahasa di dunia kecerdasan buatan (AI). “Data adalah minyak baru. Bahasa yang tidak memiliki korpus digital akan kehilangan suara dalam dunia masa depan,” tegasnya. Dari Brunei Darussalam, Muhammad Najib bin Noorashid memaparkan hasil penelitiannya tentang nilai strategis bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dalam ekonomi jingga, yakni ekonomi berbasis budaya dan kreativitas. Ia menekankan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sumber nilai ekonomi dan identitas budaya. “Bahasa Melayu dan bahasa Indonesia bukan sekadar penghubung, tetapi ekosistem budaya yang dapat memberikan nilai tambah ekonomi melalui pendidikan, pariwisata, dan industri kreatif,” jelasnya. Salah satu peserta menyoroti posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Umum UNESCO dan menanyakan prospek bahasa ini di tengah dominasi bahasa global. Menanggapi hal tersebut, Yudi Latif menjelaskan bahwa bahasa Indonesia kini termasuk dalam sepuluh bahasa paling banyak digunakan di internet dan dinilai sebagai bahasa dengan nuansa positif tertinggi di dunia. “Bahasa Indonesia menjadi bahasa paling bahagia di dunia karena menggambarkan karakter bangsa yang tetap optimis dan penuh tawa di tengah berbagai tantangan,” ujarnya. Sementara itu, Rusmadi menegaskan bahwa kedudukan bahasa Melayu di Malaysia tetap kuat secara hukum, meskipun menghadapi tantangan dari generasi muda di era digital. “Secara undang-undang, kedudukan bahasa Melayu di Malaysia terjamin. Namun, kita perlu memperkuat kesadaran generasi digital agar terus memartabatkan bahasa sendiri di ruang siber,” jelasnya. Peserta lainnya juga mengemukakan gagasan agar Mabbim memperluas jangkauan menjadi organisasi kebahasaan serantau yang melibatkan negara-negara lain di kawasan berpenutur bahasa Austronesia. Menanggapi hal tersebut, Najib Noorashid menyambut baik gagasan itu dan menekankan pentingnya pemetaan dan promosi bersama untuk memperluas pengaruh bahasa Melayu dan bahasa Indonesia di tingkat global. Yudi Latif menambahkan bahwa penguatan konsolidasi antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei harus menjadi fondasi utama sebelum memperluas kerja sama ke wilayah lain seperti Patani, Mindanao, atau kawasan Pasifik. Diskusi yang berlangsung dinamis ini menegaskan pentingnya diplomasi bahasa serumpun dalam menghadapi tantangan era digital dan globalisasi. Para pemakalah sepakat bahwa kerja sama antara lembaga bahasa di ketiga negara, seperti Badan Bahasa, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, serta Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam, perlu diperkuat melalui pembangunan hub data linguistik serantau dan kolaborasi penelitian kebahasaan digital. (Avina / Editor: Stephanie, Denty)
Penulis: Kontributor BKHM
Editor: Denty Anugrahmawaty